Tempat itu bernama Kedai Nami. Terletak di sebuah sudut Banyumanik yang berteman akrab dengan rumah warga dan jalanan sempit. Walau demikian, sama sekali tidak menghalangi niat pengunjung yang datang untuk menyegerakan langkah mereka agar segera tiba di Nami. Waktu tempuh menuju Kedai Nami terbilang opsional, apabila mengendarai motor dengan santai, bisa sampai dalam 20 menit, bisa lebih ataupun kurang. Kedai ini menjadi menarik untuk dikunjungi karena letaknya yang bisa dikatakan tersembunyi walau melikut hingga ke tampuk Gedawang. Kalaupun tidak, Nami sepatutnya menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi. Menjadi berbeda di tengah gairah tongkrongan anak muda masa kini, dengan membaur konsep alam dan buku, lebih tepatnya tanaman. Untuk melihat lebih jauh apa dan bagaimana rupa Kedai Nami, mari sama-sama menelusuri paragraf ini.
Awal mula terbentuknya Nami
Berawal dari sebuah tanah kosong yang idenya disimpan terlebih dahulu sebelum betul-betul mematangkan apa yang akan dibuat, di belakang rumah pemilik Nami. “Rumah ini dulu yang dibangun waktu itu, dari tanah kosong, terus ini (Nami sekarang) masih belum jadi apa-apa. Waktu kita bangun (rumah) ini, sebenarnya membayangkan ‘siapa tahu nanti kita buat kede’ atau semacamnya, kaya gitu. Makanya kita buat ada space di bagian agak belakang,” ujar Mas Cornel saat diwawancarai pada Kamis (02/05).
Persiapan yang cukup matang itu diawali dari menanam tumbuhan terlebih dahulu. Membuat sebuah kemajuan dengan mengerjakan hal-hal kecil lainnya sebelum Nami lahir waktu itu. Dalam bayangan mereka, setidaknya akan ada yang bisa dikerjakan di rumah, walau saat itu belum terpikirkan akan disulap menjadi apa, namun konsep sudah ada di kepala.
Sejalan dengan hobi dan kesukaan, keduanya memutuskan untuk melahirkan konsep yang berbeda dengan suasana yang bertolak belakang dari konsep lain yang tenar kala itu. Mba Yohanna yang gemar memasak dan Mas Cornel yang suka kopi, maka berpadulah keduanya diimbangi dengan ide lain yang muncul berurutan.
Nami bukan sekadar sebuah nama
Pemilik Nami adalah sepasang suami istri yang memiliki minat di masing-masing hal yang pada akhirnya membuat Nami berdiri. Tidak dapat dipungkiri, perbedaan kesukaan yang mereka miliki mampu menjadikan Nami terpaut suasana dari tempat lainnya. Nama ‘Nami’ sendiri mungkin gagasan dari keduanya yang berasal dari bahasa batak yang berarti kita. Sedangkan dalam bahasa Jepang berarti indah dan bahasa Korea adalah ombak. Tidak hanya itu, bila dibalik, Nami adalah iman. Begitu sederhana namun membuat orang yang memahaminya untuk pertama kalinya tidak mampu menahan diri untuk memikirkan filosofi lain yang barangkali memperelok eksistensi Nami. Mungkin dalam iman yang dibalik menjadi sebuah nama itu pada akhirnya adalah doa untuk tempat yang minimalis namun menyejukkan jiwa ini. “Jadi ya punya banyak makna yang baik sih dan mudah juga dikenal dan diingat sama orang,” pungkas Yohanna pemilik Kedai Nami.
Membaur Konsep buku dan tanaman
Di tengah hiruk-pikuk suasana industrial, Kedai Nami menghadirkan konsep baru dan berbeda. Hijau yang rimbun memesona mata dan menenangkan pikiran karena menjauh sebentar dari suasana bising kota. Pertama kali ke Nami akan disambut oleh sebuah pintu yang dapat dikatakan sebagai pintu ajaib karena bila sudah bergerak dari ambangnya maka Nami akan unjuk diri dengan suasana yang tenang dan daun melambai-lambai. Bila sore hari, dan senja menjelang, berkas matahari malu-malu mengintip dari daun-daun yang gemulai. Di manapun, kiri, kanan, belakang, bahkan tengah Kedai Nami dikelilingi oleh tumbuhan yang menjadi esensi Kedai ini yang pada akhirnya diberi julukan “Nami. Coffee and plants”.
Selain itu, Nami juga menyediakan buku yang sebenarnya adalah buah tangan dari pemilik Nami sendiri yang keduanya memiliki latar belakang yang berbeda. Cerita pendek, puisi dan buku lain yang dapat dinikmati dan diselesaikan dalam sekali duduk. Buku-buku yang tersedia relatif beragam bahkan ada yang tentang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pembauran buku dan tanaman ini, terutama di tempat asri dan tersembunyi, menjadi salah satu daya tarik Kedai Nami.
Suasana Hommy yang comfy
Rumah punya definisinya sendiri bagi setiap orang, Nami pun bisa masuk menjadi satu dari banyak definisi oleh pengunjung yang sudah datang ke Nami. Tidak dapat dipungkiri, kerinduan pemilik kala itu untuk merealisasikan sebuah konsep dengan kehangatan pada akhirnya bisa mengundang banyak orang untuk datang. “ Idenya ya begini (musik, buku, dan tanaman), kalau sekarang orang senang tanaman dan nuansa hommy. Dulu terpikirkan sama kita, enak kali ya nongkrong di coffee shop yang banyak tanamannya, yang agak teduh,” ucap Mas Cornel saat diwawancarai Kamis (02/05).
Nami hadir dengan atmosfer yang berbeda. Membawa teduh dan tenang, sekaligus rasa ingin berlama-lama. Jangan heran ketika jam operasional mulai buka, tidak lama setelah itu, banyak pengunjung yang datang dan berhilir-mudik hingga malam tiba. Terus bergantian, dan tidak hentinya berdatangan untuk menuntaskan rasa penasaran, mengerjakan tugas, menikmati waktu bersama teman, pacar atau bahkan keluarga.
“Kesan pertama waktu awal datang sempat nggak percaya, bingung, benar gak sih ini jalannya, karena kan hidden banget ya. Ternyata setelah mengikuti map, tempat ini benar ada,” tutur Nadila, salah satu pengunjung Kedai Nami saat diwawancarai pada Sabtu (04/05).
Nadila pergi bersama dengan kedua temannya menggunakan motor. Walau sempat diusik keraguan karena tempat Nami yang terpencil dan takut tersesat, pada akhirnya usaha mereka tidak terkhianati ketika sampai di Nami. Tampak dari sinar wajah ketiganya, merasa gembira karena berhasil menemukan Nami sebagai tempat untuk rehat sejenak dan melarikan diri dari suasana kota.
“Terus pas sampai di sini, kesan selanjutnya, mungkin konsepnya berbeda dari yang lain ya. Karena baru pertama kali juga nemuin kafe yang banyak hijau-hijaunya apalagi di tengah hiruk-pikuknya Semarang terus panas, jadi cocok sih,” tutup Nadila.
Kedai Nami tergolong slow bar cafe, sehingga semua makanan dan minuman dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan membutuhkan waktu sedikit lebih lama dari biasanya. Kala menunggu menu, pengunjung bisa melakukan hal yang mereka inginkan di tengah suasana Nami yang ditemani lambaian hijau tumbuhan, buku-buku menarik, dan mengambil potret sebanyak-banyaknya karena di Nami terdapat spot-spot foto yang menarik.
Pada hari Sabtu dan Minggu, apabila ingin melakukan rehat sejenak sembari menikmati alam, mungkin Nami adalah jawaban. Buka mulai pukul tiga sore hingga sepuluh malam, pengunjung bisa memesan kopi, makanan musiman Nami serta menikmati menu lain sambil berakhir pekan.