SEMARANG, JAWA TENGAH – Tak jauh dari Stasiun Poncol, kontras dengan hiruk-pikuk kereta yang merayapi rel, kehadiran toko buku antik bernama Book Boss niscaya dapat menjadi oasis bagi para teman pembaca yang ingin menghidu ketenangan dan pengalaman autentik berburu buku.
Toko buku ini dapat disambangi dengan mendaki anak-anak tangga menuju lantai dua gedung percetakan Effhar, sebuah bangunan biru bernuansa antik yang berdiri di Jalan Dorang No. 7, Kota Semarang. Di tengah dominasi toko buku kontemporer yang membanjiri pasaran, Book Boss justru hadir sebagai surga antik bagi mereka yang ingin mencari buku-buku bekas impor dengan harga terjangkau, mulai dari Rp 17.500 hingga Rp 130.000.

Gedung percetakan Effhar yang menjadi lokasi Book Boss
(Sumber : Foto Haifa Furai’ah Chairania)
Sebelumnya, Book Boss hadir melalui serangkaian pameran buku, salah satunya adalah yang kerap digelar di Gedung Wanita. Dari pameran ke pameran, tingginya antusiasme pengunjung membuat Book Boss akhirnya membuka toko buku fisik yang mulai aktif beroperasi sejak tahun 2016.
Mayoritas buku didatangkan langsung dari Amerika Serikat dan Inggris, seperti novel fiksi, buku anak-anak, hingga biografi dan buku kajian bernuansa sains, sejarah, serta politik. Tak sekadar jadi tempat jual-beli, toko ini memiliki pesona tersendiri dengan penataan interiornya yang bernuansa vintage–selaras dengan apa yang disebut anak muda saat ini sebagai instagrammable.
Ibarat memasuki bingkai lukisan, pengunjung dapat merasakan sensasi menyusuri lantai marmer bermotif catur sembari menekuri barisan rak kayu yang dipadati buku-buku lintas dekade. Dibalut pencahayaan kekuningan hangat, Book Boss menawarkan sudut-sudut cantik yang dihiasi lukisan realisme, meja baca kayu, dan sofa bergaya klasik. Tidak heran, banyak pengunjung enggan melepas kesempatan mengabadikan momen ketika bertandang.

Kursi dan meja baca yang menghiasi sudut-sudut toko
(Sumber : Foto Haifa Furai’ah Chairania)
Unggahan konten Book Boss yang malang-melintang di media sosial secara tak langsung memperluas eksistensi toko buku ini di mata publik. Fienna, salah satu pengunjung, menuturkan pertemuan pertamanya dengan Book Boos melalui konten TikTok. “Di Semarang jarang ada toko buku bekas indie yang punya space besar serta estetik yang bisa dibuat berfoto ria. Book Boss menurutku mengisi kekosongan itu,” kata Fienna.
Mengutip perkataan Rahma, staf yang sudah hampir sepuluh tahun bekerja di toko, keindahan interior turut menjadi nilai jual Book Boss. Jika mayoritas pelanggan Book Boss adalah mahasiswa yang ingin mencari buku refrensi sejarah, psikologi, atau sastra Inggris seperti Penguin Classics, belakangan berapa orang awam juga datang untuk menjadikan Book Boss sebagai lokasi pemotretan katalog.

Rak-rak buku yang bersanding dengan dekorasi lukisan realisme
(Sumber : Foto Haifa Furai’ah Chairania)
Kendati begitu, lebih dari potret estetik, Book Boss sendiri menjadi jembatan bagi masyarakat dalam memperoleh akses literasi terjangkau dan pengalaman membaca yang lebih luas. Aksesibilitas buku impor di Indonesia acap kali masih terhalang dengan harganya yang menguras kantong lantaran faktor pajak dan biaya distribusi yang tidak sedikit–terlebih buku-buku ini umumnya hanya dapat ditemukan eksklusif pada toko-toko tertentu. Buku-buku bekas seperti yang dijual Book Boss menjadi alternatif bagi para pecinta buku untuk terus mengembangkan minat literasinya terlepas dari tekanan finansial.
“Sekarang kan harga buku impor mahal banget ya. Dollar naik terus, tapi di sini kita jual buku-buku bekas yang harganya tetap bakal segitu-segitu aja,” tutur Rahma.
Kendati arus digitalisasi menjadi tantangan bagi Book Boss, Rahma memaparkan betapa buku-buku fisik yang mereka jual masih sangat diminati di kalangan pembaca. “E-book memang memudahkan, tapi bikin capek kalau harus scrolling terus di layar. Orang masih suka buku fisik karena pengalaman membacanya, bisa dipegang, bahkan dari bau kertasnya aja sudah khas.”

Rak yang memajang koleksi buku fiksi dan non-fiksi di Book Boss
(Sumber : Foto Haifa Furai’ah Chairania)
Fienna, sebagai pembaca yang juga akrab dengan pengalaman berburu buku secara daring, berpendapat bahwa toko fisik seperti Book Boss menawarkan rasa aman dalam berbelanja. Menurutnya, membeli buku bekas secara daring bisa menjadi agak tricky, sering kali tidak memenuhi ekspektasi dan masih harus berlomba dengan pembeli lain karena stok yang terbatas.
Ketika berbelanja daring mengharuskan pembeli berpacu dengan waktu, Book Boss menawarkan pengalaman yang lebih tenang, memberi ruang jeda bagi mereka untuk mengeksplorasi buku secara mendalam sembari menikmati suasana toko. Sebagai toko buku bekas dengan koleksi lintas zaman, menemukan kejutan adalah hal yang selalu dinantikan pengunjung. Fienna mengakui sering menemukan koleksi dengan topik yang tidak populer di Indonesia, seperti buku bertema sosial-politik global maupun buku klasik yang mungkin sudah tidak diterbitkan lagi. “Contohnya bisa nemu novel Agatha Christie versi bahasa Inggris dan buku The Famous Five terbitan awal dengan harga di bawah seratus ribu.”
Di sisi lain, interaksi yang terjalin antara staf dan pelanggan membuat Rahma bisa mengenal mereka secara intim, bahkan mengetahui prefrensi buku dari sejumlah langganan setia. Beberapa kali, mereka akan saling berkontak bilamana Book Boss memiliki koleksi yang sedang dicari-cari. Menjadi sarana nostalgia, tak jarang beberapa beberapa pelanggan mendapati pengalaman emosional ketika mereka menemukan kembali buku masa kecil di Book Boss. “Orang ke sini seperti menemukan harta karun,” katan Rahma.

Salah satu koleksi buku di Book Boss
(Sumber : Foto Haifa Furai’ah Chairania)
Berangkat dari sebuah toko buku bekas, Book Boss kini menjelma menjadi ruang kolektif bagi pecinta literasi, memperlihatkan esensi penting buku-buku fisik, ruang hangat, dan sentuhan personal yang tidak lekang oleh waktu.
Credits : TindakPundi.Id / Haifa Furai’ah Chairania