Bagian muka Toko Wijaya Bakery
(Sumber : Foto Haifa Furai’ah Chairania)
“Toko ini sudah ada sejak tahun 1947.” Demikian Tuti mengawali ceritanya tentang Wijaya Bakery. Bersama sang suami, Edi Wijaya selaku generasi ketiga, mereka mengelola toko roti yang usianya sudah hampir delapan dekade ini.
Sepintas, penampakan Wijaya Bakery barangkali tidak akan langsung ternotis saat menyusuri sepanjang trotoar Jalan Pemuda, Kota Semarang. Bisa jadi, perhatian kita malah akan langsung tertuju pada bangunan gigantik Queen City Mall–atau siapa tahu, kepalang sibuk mencari Toko Oen yang kerap disebut-sebut sebagai ‘destinasi kuliner wajib’ itu?
Di antara hiruk-pikuk laju kendaraan, bilamana tiba-tiba tercium aroma roti hangat yang baru saja keluar dari oven, cobalah sejenak layangkan pandangan ke sekeliling. Barangkali tak jauh dari sana, Wijaya Bakery telah membuka gerainya, bersiap menyambut kehadiran para pelanggan sebagaimana yang selalu mereka lakukan dari generasi ke generasi.
Menempati bangunan tua peninggalan zaman Belanda, toko roti ini sejatinya lahir dengan nama Hovel. Perubahan timbul seiring kebijakan pada masa itu yang mengharuskan dihilangkannya simbol-simbol kolonialisme, termasuk perihal penamaan gedung. Sempat berganti menjadi Jaya Wijaya, semenjak 1995 hingga kini, nama Wijaya Bakery pun resmi disandang toko ini.

Potret Wijaya Bakery di masa lampau
(Sumber : Foto pribadi pengelola Toko Wijaya Bakery)
Kendati bangunan putihnya tak lagi secemerlang dulu, Wijaya Baakery menyajikan roti-roti yang resepnya tak pernah berubah dan masih memiliki tempat setia di hati pelanggan.
Selaras dengan bagian mukanya yang sederhana, interior toko ini tidak mengalami banyak pemugaran. Begitu melangkah masuk, pelanggan akan langsung disambut dengan senyum hangat Tuti yang sehari-harinya menjaga toko bersama beberapa karyawan lain. Dua etalase kaca berdiri di sudut lain toko, memajang baki-baki berisi roti kecokelatan dengan tampilan menggugah selera. Pada bagian belakang bangunan, terdapat dapur kecil beserta mesin-mesin kuno seperti oven peninggalan zaman lampau yang masih dioperasikan untuk membuat roti.
“Biasanya saya mulai produksi sejak jam lima pagi, kecuali kalau ada pesanan khusus,” tutur Tuti. Lebih lanjut lagi, seharinya Tuti bisa menghabiskan hingga sepuluh kilogram tepung. Mengenai kunci kenikmatan Wijaya Bakery, Tuti dengan mantap mengatakan bahwa roti mereka bebas dari pengawet–mempertahankan rasanya yang khas dengan tekstur lembut dan padat. “Hanya bertahan 3 hari saja.”

Roti pastry isi kacang
(Sumber : Foto Haifa Furai’ah Chairania)
Wijaya Bakery mungkin tak menawarkan varian rasa kekinian. Sebaliknya, jenis roti sederhana seperti roti pisang cokelat masih jadi primadona yang selalu dicari-cari. Potongan pisang mengisi penuh bagian dalam roti, berpadu dengan lelehan cokelat, membuat kudapan ini sangatlah cocok disantap bersama teh hangat. Adapun rasa manis ini berasal dari penggunaan pisang raja yang diolah dengan cara khusus. “Ditunggu hingga matang, sampai sari-sari manisnya keluar,” jelas Tuti.

Penamapakan dalam roti pisang cokelat, roti favorit Wijaya Bakery
(Sumber : Foto Haifa Furai’ah Chairania)
Dari dalam lemari penyimpanan, Tuti beralih mengeluarkan baki penuh roti berwarna kuning mentega yang diperkenalkannya sebagai pia keju. Berbeda dengan pia keju yang umumnya berbentuk bulat mungil, pia keju Wijaya Bakery berbentuk memanjang dengan isian keju yang melimpah, menjadikannya sebagai menu andalan lain toko ini. Acap kali, pelanggan juga mencari kudapan seperti roti ayam, risoles, hingga pastry kacang. Sementara itu, puasa dan Natal merupakan momentum ketika permintaan terhadap kue-kue kering tradisional melonjak naik.
“Pelanggan fanatik pun ada,” kata Tuti sambil tertawa. “Misal yang datang cuma mau roti pisang cokelat, kalau kebetulan stoknya kosong, ya … langsung pergi dan nggak beli yang lain.”

Pia keju Wijaya Bakery yang unik dengan bentuk memanjang
(Sumber : Foto Haifa Furai’ah Chairania)
Kehadiran Wijaya Bakery tak ayal menjadi bagian dari memori masyarakat sekitar. Mereka yang sedari kecil bertandang ke toko ini, lambat laun tumbuh dan tetap setia kembali untuk mencari roti favorit mereka. Tak sedikit pula pelanggan-pelanggan baru yang berdatangan, baik dari mendengar cerita lama maupun secara tidak sengaja melewati bangunan Wijaya Bakery.
Zahra, salah satu pelanggan menyampaikan kesan pertamanya ketika kebetulan bertandang ke toko ini bertahun-tahun silam. “Kelihatan classy dan nostalgic roti-roti jadul. Kerasa banget madre rotinya sudah lama.”
Di masa modern ini, esensi Wijaya Bakery sebagai toko roti jadul rupanya menawarkan daya tarik yang mengundang kedatangan media dan influencer untuk meliput. Eksposur ini pun sedikit banyak mengangkat nama Wijaya Bakery sebagai destinasi kuliner di sudut Kota Semarang.
“Dulu pernah ada YouTuber datang juga. Jadi banyak pelanggan datang, termasuk orang-orang muda.”
Meskipun demikian, Tuti tidak menampik ketatnya persaingan dengan toko roti modern, terlebih dengan situasi belakangan ini yang membuat bisnis agak lesu dan sepi. Ketika satu persatu toko seangkatannya mulai gulung tikar, Wijaya Bakery berupaya tetap bertahan dengan menawarkan roti-roti lama yang tak hanya menjadi sarana nostalgia bagi para langganan, namun juga menjelma sebagai pengalaman autentik bagi orang-orang yang baru pertama kali datang untuk mencicipinya.
Credits : TindakPundi.id / Haifa Furai’ah Chairania