Para siswa Sobokartti sedang berlatih tari tradisional di pendopo Gedung Sobokartti, Semarang pada Jumat (30/05) (Sumber: Foto Adinda Melati Putri)
Kala modernisasi merebak, Sobokartti tetap berdiri teguh sebagai benteng pelestarian seni budaya tradisional di Semarang. Perkumpulan seni budaya ini memiliki perjalanan panjang sejak didirikan pada 5 Maret 1920. Sobokartti didirikan sebagai respons terhadap keprihatinan atas terbatasnya akses seni budaya, khususnya seni tari Jawa, yang sebelumnya hanya dapat dinikmati oleh kalangan bangsawan. Dengan semangat demokratisasi, edukasi, dan pelestarian, Sobokartti membuka jalan bagi masyarakat umum untuk mengakses dan mempelajari seni tradisional Jawa.
Proses berdirinya Sobokartti tidak lepas dari semangat kebangkitan nasional di awal abad ke-20. Dalam masa itu, kesadaran akan pentingnya identitas budaya mulai tumbuh di kalangan masyarakat Indonesia. Sobokartti didirikan atas prakarsa tokoh-tokoh seperti K.P.A Prangwedana, Dr. Rajiman, dan Ir. Thomas Karsten, yang juga dikenal sebagai arsitek gedung Sobokartti yang kini menjadi ikon budaya di Jalan Dr. Cipto, Semarang.
“Sobokartti lahir dari kebutuhan untuk mendemokratisasikan seni budaya. Tari klasik yang sebelumnya hanya ada di dalam istana kini bisa dipelajari oleh siapa saja, dari anak-anak hingga dewasa,” tutur Soetrisno Budoyonagoro pengurus Sobokartti sejak 1984.
Gedung Sobokartti sendiri, yang diresmikan dengan pagelaran tari oleh seniman Surakarta, memiliki sejarah heroik. Pada masa Revolusi Indonesia, gedung ini menjadi saksi perjuangan pemuda melawan penjajah Jepang, yang kemudian mengokohkan posisinya sebagai simbol perlawanan sekaligus pelestarian budaya.
Sobokartti kini dikenal sebagai pusat pendidikan seni budaya. Darmadi, penanggung jawab Sobokartti, menjelaskan bahwa lembaga ini menawarkan berbagai kursus, seperti tari klasik, tari kreasi tradisional, seni karawitan, pedalangan wayang kulit, hingga pelatihan pranatacara atau Master of Ceremony (MC) Jawa.
“Kami memiliki lima kelas tari dengan kurikulum yang berbeda untuk berbagai usia. Minimal usia peserta adalah empat tahun, tetapi tidak ada batas usia maksimal,” ujar Darmadi.
Salah satu inovasi Sobokartti adalah pengembangan tari kreasi tradisional, seperti Tari Krenteg Semarang.
“Tari ini diciptakan sebagai respon terhadap lomba antar sanggar di Semarang beberapa tahun lalu. Tari Krenteg Semarang menjadi simbol kekhasan Sobokartti dan mendapat apresiasi luas,” tambah Darmadi.
Selain itu, Sobokartti secara rutin mengadakan pagelaran seni, baik di tingkat lokal maupun nasional. Salah satu prestasi gemilang adalah kemenangan salah satu siswa mereka di ajang nasional di Mangga Dua, Jakarta, yang selanjutnya akan tampil di Tiongkok.
Meskipun Sobokartti telah mencatatkan banyak prestasi, tantangan tetap ada. Pengaruh budaya asing yang mudah diakses melalui teknologi menjadi salah satu hambatan utama. Namun, Sobokartti tetap berkomitmen menjadi tempat bagi generasi muda untuk terus melestarikan budaya tradisional.
“Harapan saya, Sobokartti bisa terus menjadi rumah bagi generasi muda yang ingin belajar dan mempertahankan seni tradisional Jawa. Seni ini adalah warisan yang harus kita jaga bersama,” kata Darmadi.
Sobokartti bukan sekadar tempat belajar seni, melainkan sebuah institusi yang menjaga identitas budaya Semarang dan Jawa. Dengan berbagai program inovatif dan dedikasi para pengurusnya, Sobokartti menjadi bukti bahwa seni tradisional tetap relevan di era modern. Sebagai masyarakat, kita pun memiliki tanggung jawab untuk mendukung upaya ini agar warisan budaya kita tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang di masa depan.
Credits : TindakPundi.id / Adinda Melati Putri