Semarang – Seminggu sebelum Ramadan tiba, suasana Kota Semarang selalu berubah menjadi meriah dan penuh warna. Tradisi tahunan bernama Dugderan kembali digelar, menjadi momen yang dinanti-nanti warga untuk menyambut bulan suci dengan suka cita.
Tradisi yang telah berlangsung sejak abad ke-19 ini bukan sekadar pesta rakyat, tapi juga bentuk perpaduan budaya, religiusitas, dan kebersamaan. Nama “Dugderan” sendiri berasal dari suara bedug (“dug”) dan petasan (“der”) yang selalu mengiringi perayaannya.
Pusat kemeriahan biasanya berlangsung di kawasan Kota Lama dan Simpang Lima, tempat masyarakat tumpah ruah menyaksikan kirab budaya. Arak-arakan kostum warna-warni, tarian tradisional, dan suara bedug bergema memenuhi jalan. Tak ketinggalan, ikon yang paling dinanti: Warak Ngendog—makhluk imajiner hasil akulturasi tiga budaya besar di Semarang, yaitu Tionghoa, Arab, dan Jawa.
Warak Ngendog memiliki bentuk yang unik: kepala naga (Tionghoa), badan kambing (Arab), dan kaki burung (Jawa). Biasanya terbuat dari kayu dan kertas, serta dihiasi telur (ngendog) sebagai simbol harapan dan berkah. Sosok ini juga jadi inspirasi motif batik dan maskot berbagai karnaval di Semarang.
Selain kirab, terdapat Pasar Dugderan yang menjajakan jajanan tradisional, mainan anak, hingga pernak-pernik khas Ramadan. Bukan hanya ajang hiburan, Dugderan menjadi ruang bersama bagi seluruh lapisan masyarakat untuk merayakan keberagaman dan menyambut Ramadan dengan semangat baru.
Bagi warga Semarang, Dugderan lebih dari sekadar tradisi. Ia adalah warisan budaya yang terus hidup—menghidupkan jalanan kota dengan warna, suara, dan makna kebersamaan yang tak lekang oleh waktu.
Credits : TindakPundi.id / Farina Khayyira